CHAPTER 61: KETIKA JIWA BERENGSEK-KOE TERDIAM



Rasanya saya harus menulis tentang catatan harian a la secangkir kopi di hari Rabu tanggal 16 September 2020 ini. 

Dua orang kenalan baik yang tingkat kecerdasan, daya tampung wawasan, dan kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik dari saya hadir menyapa melalui aplikasi WA. 

Tentu saja sebagai seorang dari kelas proletar semenjana, saya senang menyambutnya. Salah seorang di antaranya bahkan tokoh yang saya idolakan, karena terkait dengan hal apa yang saya kerjakan selama sekitar 20 tahun terakhir. 

Buatku, beliau adalah panutan dan idola. 

Benang merah dari sapaan keduanya adalah paradigma kebandelan yang masih saya setia usung, hingga kini, sebuah jalan hidup dan mekanisme pertahanan diri satu-satunya yang saya jalani sejak kecil, yaitu menjadi anak bangku belakang yang bandelnya abadi. 

Rabu pagi, 16 September 2020, saya bisa terdiam tidak berbuat apa-apa. Pasrah terhadap keputusan apapun dari akan datang menyapa. 

Dua hari sebelumnya, saat sepedaan sendirian ke kawasan Sentul City, saya sudah berusaha mencari intuisi, tapi memang benak kayaknya lagi mentok mencari dan menangkap ide di udara. 

Jadi daripada blunder kalau bergerak, maka saya memilih diam menunggu takdir datang dengan keputusan apapun itu. 

Saya berasumsi, percuma memaksakan gerak ketika tidak ada intuisi. Itu hanya akan mendorong pada pemikiran, suasana hati, dan tindakan yang justru berpotensi lebih memperkeruh keadaan. 

-

Saya sempat berdialog dengan seorang kawan baik yang pernah melanjutkan studi ke Inggris dengan jalur beasiswa, dan suaminya pun kerja di PBB. 

Intinya, kawanku ini orang baik dan petarung kehidupan di kelas intelektual. Itu pula yang membedakan kami, kalau aku jelas petarung kelas secangkir kopi. 

Tapi saya pikir dan berasumsi, badai disrupsi dan badai pagebluk Covid-19 telah banyak mengubah lanskap dan standar soal sistem kehidupan yang lebih baik buat umat manusia. Ternyata modernisasi a la Barat tidak cukup tangguh, mapan, dan matang menghadapi dan mengatasi tantangan yang ada dari kedua badai itu. 

Makanya, saya tetap senang menjadi anak bandel, dengan segudang pengalaman kenakalan yang bisa dikatakan paripurna. Sederhananya, saya sudah puas menjalani jalan yang kenakalan sebagai anak laki dan remaja laki. 

Seburuk-buruknya dan telah menjadi literasi serta pengalaman yang sangat berharga menjalani hidup sekarang dan ke depan. 

Kenapa bangga jadi anak nakal yang abadi? Saya berasumsi, jadi anak nakal itu sudah terbiasa dengan jalan di bawah yang sangat sulit dan sangat menguji eksistensi serta keteguhan hati. 

Dan itu sangat berkorelasi dengan daya tahan menjalani hidup. Anak nakal seperti sepertiku mestinya sudah mati berkali-kali, dan sering pula diterpa badai hingga terjengkang dalam ruang gelap. Hal-hal itu membuatku lebih tegar dan kuat jalani hidup. Apa lagi yang bisa lebih buruk bisa terjadi pada anak-anak nakal sejati yang memang sudah terbiasa memilih dan menghadapi jalan sulit di dasar. 

Tidak ada prestise dan tepuk tangan orang lain di sini, logika umum keriuhan dan sambutan gempita itu adalah jalan sulit menuju ke atas dan puncak, itu sudah menjadi hukum kenormalan yang alami. 

-

Kembali ke soal Rabu 16 September 2020, takdir memang datang tidak terduga, sebuah pesanan ke Dapur Bu Yon kembali membuat semangat bini, karena rekening Bank-nya kembali terisi. 

Ya, pagi itu isi rekeningnya tinggal Rp 90 ribu, tanpa ada bayangan akan datang dari mana lagi rezeki di tengah situasi sulit seperti ini. Sempat pula di hari Senin, mesin air panas di kamar mandi yang sudah cukup lama tidak digunakan, saya copot dan kemudian dipasarkan di OLX. 

Bahkan uang ujian pra semester Rasy dan Keanu pun pasrah saya lewatkan, karena dananya memang tidak ada. Makanya waktu diminta ambil soal-soal ujian pra semester keduanya di hari Senin lalu, saya terpaksa lewatkan. Saya hanya baru bisa bayar SPP, itupun karena hasil donasi beasiswa sebuah program dari sebuah perusahaan besar di bidang industri otomotif. 

Ya, biarlah kedua anak laki itu jeblok nilainya, toh, sekolah hingga hari ini terbukti belum tentu mengantarkanmu kepada kehidupan yang lebih baik, beretika, bermoral, dan tidak kalah pentingnya lebih menghargai perbedaan. 

Sekolah sering kali mendorongmu menjadi lebih tinggi nilai keakuannya, merasa paling hebat. 

Meski lemas juga, karena kedua anak laki itu tidak bisa ikutan ujian pra semester, saya mulai berdamai dengan situasi yang kurang enak itu, hingga sesaat kemudian bini ngabari via WA, jika bahan ujian abang Rasy dan Keanu bisa diambil di sekolah. Tinggal melapor ke pemilik yayasan kapan bisa membayar.

Nah, pesanan dari kenalan idolaku itu pulalah yang menyelamatkan hari. Setidaknya memperpanjang, dan bisa dipakai untuk membayar uang ujian pra semester abang Rasy dan Keanu, besok atau lusa. 

Kubilang pada bini dan seorang sahabatku tadi sore, anak bandel sepertiku mestinya sangat paham jika batas akhir berupa kematian itu adalah bukanlah tragedi, itu adalah proses yang harus dipersiapkan. Dan rasanya ketegaran akibat hantaman banyak hal di dasar, mestinya membuat seorang anak bandel abadi sepertiku bisa lebih lapang dada menghadapi batas akhir itu, semoga. 

Lalu bagaimana tanggung jawab pada masa depan anak-anak? Pada Tuhan, akhir-akhir ini kerap kuberbisik, "Tuhan, Engkau tahu aku belum pernah pergi dari tanggung jawab untuk memeluk dan menyayangi anak-anakku, serta biniku. Namun saya juga tidak akan memaksakan langkah yang samak sekali asing buatku hanya untuk untuk berupaya menjaga kelanjutan mereka."

"Satu hal yang pasti untukku, Tuhan. Jika Denny Sumargo saja yang sudah ditinggal ayah sejak dalam kandungan ibunya bisa besar dan sukses, maka seyogyanya anak-anakku bisa lebih baik lagi, karena sebobrok-bobroknya ayah mereka, aku masih ada di sini menghadapi dan menjalani takdir."

Ya, jauh dari kata sempurna, namanya juga anak bangku belakang yang bandelnya abadi, tapi yang pasti aku tetap di sini, berharap semuanya akan berjalan baik buat mereka, bisa menjalankan tugasku sebagai ayah dengan baik, hingga memang tiket terusan di bumi manusia ini memang sudah harus selesai. 

Itu saja dulu. 

Bogor, 16 September 2020

22:44 WIB.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!