CHAPTER 27: GUGUR DENGAN CARA BERBEDA
Pada akhirnya di ujung kehidupan, dirimu akan berdiri
mempertanggungjawabkan setiap perbuatan yang telah dilakukan. Hadapilah dengan
tegar dan senang hati, apapun itu, setiap insan telah berjuang sesuai perannya.
-
Tamalanrea KM. 10
(pertengahan 1990an)
Hari masih pagi di terminal Petek-Petek di di belakang
Baruga APP. Masih kurang dari jam enam pagi, tapi Aco preman sudah menjalankan
tugasnya mengatur kedamaian di sana.
Sementara warung nasi di ramsis masih beberes, ada sajian
menu yang ditawarkan namun masih minim, tapi cukuplah buat sarapan para
mahasiswa berperut keroncongan karena habis begadang nonton bareng Liga
Champions di tivi 14-inci yang warnanya mulai pudar. Nanti jelang siang, baru
seluruh menu makanan spektakuler siap dipilih.
Pagi itu seperti biasa, semesta masih selalu memeluk
Tamalanrea KM. 10. Ya, ini adalah negeri antah berantah, tempat dimana dongeng
dan kidung kedamaian selalu berkumandang. Meski sesekali riuh juga kalau lagi
musim ajaran baru ataupun tradisi tawuran kembali datang.
Saat tahun ajaran baru adalah saat dimana para senior-senior
“mati kiri” untuk mengadu peruntungan mengejar sekeping cinta di hati adik-adik
tertentu yang berupa manis bak gula atau mungkin sejak lahir sudah dikaruniai
anugerah magnet pemikat dari Tuhan Sang Pencipta.
“Makan, gak?” kata Katak.
“Belum, nanti sianglah. Kasian pagi-pagi sudah buat dosa,”
timpal Zulkipli, kawan angkatannya dari Tidore.
Ya, suatu saat kelak tidak lama, warung nasi ramsis akhirnya
tutup. Entah karena suka “dirampok” atau memang sang empu sudah jenuh jualan di
sana. Tapi memang banyak juga yang makan ayam ditutup nasi baru dikasih lauk
lainnya. Alhasil sepotong dada atau paha ayamnya tidak kelihatan pas dihitung
di mesin kasir.
-
Suasana sudut – sudut ruangan FIS III dan FIS IV sudah
banyak kakak-kakak tertentu juga sudah memulai hari, bukan untuk mengejar ilmu,
tapi supaya kelihatan belajar dan terdidik oleh para adik-adik tertentu yang
tengah semangat-semangatnya mengejar cita. Maklum ini awal tahun pelajaran.
Urusan ini, Enre yang memang rupawan dan memang juga kutu
buku umumnya memenangkan pertempuran dengan strategi klasik ini. Sementara
Wawan bisa menang, karena kemampuannya berseni tutur memang sudah dilewati
siapapun, dia yang terbaik. Katak selalu ingin mengadopsi gaya Wawan, namun
penghayatan perannya masih belum maksimal, berujung kegagalan.
“Maafkan, kak. Saya masih ingin belajar dulu,” kata Pheo
“Maaf, kak. Saya sudah punya pacar,” kata Risma.
“Maaf, bang. Kita jadi adik kakak saja yah,” kata Dilan.
(Lho kok Dilan nama cewek? Ya, ini kan di seberang Pulau, jadi sah-sah saja).
Katak pun pulang lemes ke kamarnya di lantai dua ramsis.
-
“Kau tidak ikutan berkompetisi lagi,” kata Igor, sahabat
baiknya.
“Males, ah. Lagi gak siap ditolak lagi hahahaha...,” kata
Zolenk.
Hari itu dan beberapa hari setelahnya, Zolenk lagi sibuk
bolak – balik rektorat. Coba mengadvokasi seorang kakak kelasnya yang akan
di-DO, karena sudah melewati batas waktu toleransi tujuh tahun.
“Pak, kan ada dispensasi masa cuti,” kata Zolenk.
Pejabat rektorat pun kembali gusar, termasuk PR 1 Prof.
Natsir, seteru abadi Zolenk.
“Ya, tidak bisa. Itu kan peraturannya. Bukan kami yang
buat.”
“Kenapa yah rektorat selalu angkuh, kekeliruaannya
senantiasa boleh dimaklumi, tapi selalu kejam pada anak didiknya,” kata Zolenk
lagi.
“Tidak usah mengajari kami.”
“Tolonglah, pak. Kasihlah toleransi satu semester lagi buat
selesaikan tugas akhir. Bantulah dengan keluarkan surat cuti.”
“Pokoknya tidak bisa!”
“Tolonglah, pak. Kan, tinggal tugas akhir ini. Nanti saya
janji bantu selesaikan tugas akhirnya, satu semester saja. Kalau pindah ke
ekstensi, kan biayanya mahal. Kasihan bapaknya, kasihan orang tuanya, pak.”
“Kamu ini, sudah! Jangan memaksakan kehendakmu. Ini sudah
peraturan sudah lama.”
Zolenk siap merespon lagi untuk membuka mulutnya, tapi ayah
Aldi memeluknya, mengajaknya menjauh sambil mengelus-elus punggungnya
menenangkan.
“Sudahlah, nak. Tidak apa-apa. Ini memang salah kami, salah
kakakmu juga. Kami sudah ikhlas, biar kakakmu melanjutkan ke ekstensi. Tidak
apa-apa, kan tinggal satu semester ini,” kata ayah Aldi.
Mendengar kata-kata bijak dari ayah kakak kelasnya itu, Zolenk
pun luruh. Ya, hari ini dia kembali menelan kekalahan. Bukan dari adik-adik
tertentu seperti biasa, melainkan seteru abadinya di Tamalanrea KM. 10.
“Sudahlah, sebaiknya kau harus mulai berpikir untuk dirimu
sendiri, terus pergi. Terlalu banyak kerusakan yang membuatmu gusar di sini.
Berkemaslah, dan lanjutkan hidup,” kata
Bije yang melihat Zolenk berjalan agak lesu ke arah kamarnya di ramsis.
Ya, sistem pendidikan memang tidak mau dan ingin mempedulikan
semua muridnya. Dia hanya baik kepada yang sewarna dan yang patuh. Peduli
setan, outputnya baik atau tidak...
Sudah pada bayar SPP, belum?
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar