CHAPTER 26: ZOLENK, MUSIK DAN NADA



Terlalu banyak hal yang bisa menjadi bahan pertengkaran dan kontroversi di ruang bumi manusia, tapi Zolenk percaya pilihan musik dan nada yang tepat bisa menentramkan hatimu dari amarah. Jika salah, memang bisa fatal pula karena bisa menjadi suluh yang semakin membarakan suasana.

-

Tamalanrea (di akhir 1990an): Sebagian kisah dimodifikasi supaya lebih seru

“Berhentilah mendengarkan musik, mending dirimu mengaji,” kata Bije, teman kosan Zolenk yang memang terkenal religius.

Zolenk masih tidak beranjak, dia masih duduk diam di kursi plastik warna hijau sambil melihat jalanan di depan kosan sana.

“Hey, kau mendengarku tidak? Ah, sudahlah, susah memang kalau orang sesat diberitahu.”

Bije pun meninggalkan Zolenk yang masih duduk diam. Sebagian penduduk kosan sudah beranjak meninggalkan areal kosan sekitar 40 – 50 kamar penyewaan itu. Ya, waktu sudah tidak lagi muda, sudah lewat jam sembilan pagi. Setengah sepuluan malah...

“Woi, Zolenk. Kuliah kau, jangan malas, biar cepat selesai dan banggakan Mamakmu,” tereak bu kosan dari bangunan tersendiri di bagian depan. Jaraknya sekitar 30 – 35 meter dari tempat Zolenk duduk-duduk saat itu di bagian bangunan belakang.

“Iya, bu,” katanya sambil bergegas ke sumur belakang, mau mandi. Berabe soalnya kalau enggak nurut perintah ibu kos, nanti bisa dibenci dan gak dikasih utangan mie instan.

“Enggak mandi di kamar mandi saja, bro?” kata mas Dede yang tengah mencuci pakaian di dekat sumur.

“Enggak, mas. Biar terkesan berjuangnya mandinya kalau pakai nimba.”

“Ah, ada-ada saja kau.”

Selesai mandi, Zolenk balik ke kamar kosannya yang katanya dulu pernah ada dua orang bunuh diri di dalamnya, ngeriiii...

“Pantes gak ada yang mau kos di kamar ini sejak dulu yah?!” kata Zolenk suatu ketika.

Di kamar, si Zolenk pun memikirkan kata-kata Bije tadi yang selalu rajin dan energik mengejar obsesi hidup di usia muda.

Meski kemudian sudah selesai mandi, Zolenk malah tidak beranjak mengejar masa depan. Ia malah termenung di jendela kamarnya, menatap pepohonan pisang punya warga kampung di belakang kosan.

“Kau tidak ke kampus?” kata Umam yang tiba-tiba nongol.

“Lagi pengen di kamar.”

“Eh, bener gak sih denger musik itu salah?” kata Zolenk lagi.

“Wah, gak tauk juga, bro. Kau tanya soal foto saja deh saya ngerti dan lebih suka membahasnya.”

“Skripsimu bagaimana?” kata Umam lagi.

“Masih mentok, bro. Bingung cara menyelesaikannya.”

Pembicaraan pun berhenti, karena Umam pun tidak lama di situ, dia keluar dan kembali ke kamarnya. Dalam waktu beberapa hari ke depan, Umam yang sudah selesai kuliah akan meninggalkan Pulau Celebes mengejar mimpi selanjutnya untuk ikutan pelatihan pendidikan foto di Jonas Photo di kota Bandung.

“Semua orang bergegas mengejar mimpi. Saya masih di sini belum menentukan langkah selanjutnya.”

Tidak lama pergulatan di kepala Zolenk saat itu. Suara khas Dolores O’Riordan menemaninya dengan nikmat dari dua speaker kecil yag terhubung pada PCnya. Dua lagu yang menginspirasnya untuk sembuh “Just My Imagination” dan “Dying in the Sun” dari ketergantungan telah menjadi stimulan kuatnya saat itu untuk mengejar ketertinggalan karena sikapnya yang buruk selama ini.

“Salahmu juga, bro. Mestinya kau ikutlah sama teman-teman belajar ikut kajian, daripada sibuk suntuk dengan duniamu yang gelap,” demikian kata Bije di suatu waktu.

Nasihat itu kembali berkumandang di benak Zolenk. Ia lantas bergegas membuka program MS Word di Pcnya, lalu ditulisnya hal ini...

Aku dan Musik

Ada banyak argumentasi mengenai musik dan nada di kepalaku, cuma baiknya saya simpan saja.  Toh, saya memang juga bukan termasuk ke ranah pemikiran yang mendalam seperti beberapa teman dekat yang memang senantiasa rajin memperkaya wawasan dengan membeli banyak buku dan berdiskusi.

Mungkin sudah sangat terlambat buat saya tidak mencintai musik dan nada, ini adalah stimulus yang menginspirasi.

Musik buat saya mungkin menjadi satu-satunya hal JAHAT yang tersisa untuk saya nikmati, setelah berhenti merokok, minum alkohol, nge-drugs.

Buat saya, musik dan nada justru adalah hal yang takzim untuk mensyukuri nikmat hidup. Saat adzan tiba, saya masih selalu minta orang-orang untuk segera mematikan bunyi-bunyian termasuk musik tentu.

Mari kita dengarkan nada adzan dan bersegeralah bersholat tepat waktu.

Sederhana, biar pahalanya tambah gede katanya kalau sholat di awal waktu.

Saya memang sudah termasuk super sesat, karena sudah kadung suka dengan lagu-lagu dari Bono, Oasis, Adam Duritz, Dolores O'Riordan, Anthony Kiedes, dan tentu saja Jon Bon Jovi yang saya suka sejak SD. Ataupun lagu “himne” dari The Verve.

Ya, saya sempat super kecewa berat sama Bono waktu dia memberi panggung buat Salman Rushdie, tapi itu adalah pilihan politik dia.

Hidup tanpa musik adalah ruang yang sunyi, dan tanpa musik saya merasa seperti dead man walking.

Ya,dasar agamaku itu masih sama dengan masa SD di Mangkura 1 belum beranjak. Saya meyakini tidak ada yang sama pada diri tiap orang, bahkan yang kembar identik sekalipun pasti ada beda. Tidak usah diperdebatkan.

 Mungkin sikapku mirip dengan judul buku Budiman Sudjatmiko sebelum dia masuk ke ranah mapan, "Menolak Tunduk."

Semoga Allah SWT dan RasulNya bersedia memaafkan hal ini, semoga, but for sure, I couldn't leave music behind, that's the way I thank life as given.

-

“Kau mau kemana?” kata Bije, keesokan harinya.

Hari sudah selepas jam makan siang waktu itu. “Mau ke MaRI (Mall Ratu Indah) terus ke 21 nonton.”

“Bah, bukannya ngaji.”

Zolenk pun tidak meresponnya, dia terus berjalan meninggalkan kosan. Jalan kaki menuju jalan raya Perintis Kemerdekaan yang jaraknya sekitar 200 – 250 meter dari kosannya, buat ambil angkot yang kalau di kota Makassar namanya “Petek-Petek”.

Sekitar mungkin sejam perjalanan naik angkot, dia sampai di jalan Kasuari terus berjalan kaki menuju MaRI lalu nongkrong di kedai kopi Excelso sambil bertemu dengan beberapa senior dan teman kuliah, namun dia tidak ikutan nimbrung pembicaraan khas di kota Makassar itu.

“Menurutmu bagaimana calon penantang kandidat gubernur yang profesor itu, bagus tidak?” kata Bece, kakak kelas Zolenk angkatan 1980an.

“Susah, masih terlalu idealis. Kita perlu orang yang lebih lentur yang bisa akomodir masukan dari orang-orang sekelilingnya,” kata Bullah, kakak kelas Zolenk yang lain, tapi angkatannya di bawah Bece.

“Wah, parah kalau gitu. Gak jadi dukung deh, nanti kerja sia-sia kita,” timpal Bece.

Pembicaraan politik pun semakin menghangat di tengah kepulan asap dan seruputan di gelas kopi. Ya, warung kopi dan diskusi politik sudah semacam menjadi tradisi atau budaya masyarakat urban di kota Makassar. Sesekali juga bahas soal sepakbola, tapi jarang bahas soal otomotif dan balapan seperti kesukaan Zolenk.

Ia pun beranjak pamit.

“Kau mau ke mana?” kata Bece.

“Ke Twenty One, bang. Ada film barunya Christian Slater.”

Zolenk pun berjalan pagi melewati trotoar, melewati Sahid Jaya Hotel, terus menyeberang tiba di Sinema 21. Ia memang penyuka Christian Slater khususnya di film Kuffs, True Romance dan Mobster.

“Kenapa kau suka nonton?” kata Bije suatu ketika.

“Karena film itu banyak menginspirasi jalan hidupku, sob. Selain menghibur dan menginspirasi, ada perasaan senang dan gembira yang lebih baik ketika keluar dari sinema. Tidak kalah pentingnya, saya bisa belajar menciptakan soundtrack imajinatif untuk film hidupku sendiri hahahahaha...”

“Mendingan ngaji, bro. Ndak guna yang gituan.”

“Ya, semua orang punya jalannya masing-masing, bro. Kita nikmati saja peran hidup kita masing-masing. Mungkin kau tetap butuh orang kayak saya, supaya bisa tahu sampel buruk yang nyata itu seperti apa,” pungkas Zolenk.

Lamunan diskusi dengan Bije pun buyar saat terdengar himbauan suara jika film segera dimulai, Saatnya Zolenk duduk bersandar dengan tenang menikmati salah satu hobi utamanya itu.


(Bersambung) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!