CHAPTER 25: LINDUNGI OTAK YANG ADA DI KAKI
“Membacalah buku, biar dirimu pintar dan otakmu terpakai,”
sudah beberapa kali petuah itu sampai ke telinga Zolenk. Entah dari teman,
guru, adik kelas, bahkan penjual buku di pelataran Kopma.
“Kalau tidak baca buku apa dampaknya?” tanya Zolenk.
“Maka otakmu akan mandek di dengkul kayak udang,” kata kang
Taufik, pedagang buku di depan kopma, yang juga merupakan salah satu kawan
baiknya selama di Tamalanrea Km. 10.
“Emang udang punya kaki?!”
“Ah, sudah ah. Kebanyakan zat adiktif tuh di kepalamu jadi
susah dikasih tahu,” kata kang Taufik sedikit gusar dan kembali menata dagangan
buku-bukunya.
Meski kemudian agak dicuekin, Zolenk belum menyerah
diresponnya lagi kata-kata kang Taufik. “Aku tahu kok letak otakku.”
“Jangan becanda ah, masih pagi nih, lagi gak mood ketawa pagi-pagi.”
“Yeh, beneran nih.”
“Dimana memangnya?”
“Di kaki.”
“Tuh kan, becanda lagi. Mending kamu cepat pergi masuk kelas
sana, biar bisa cepat selesai dan cari kerja.”
“Eh, saya jawab
beneran ini. Kok marah sih?”
“Lha, jawabanmu
saja asal. Masak otak adanya di kaki.”
“Eh, beneran.
Orang-orang kan pada beli buku buat lindungi kerja otak di kepalanya. Nah, saya dari SD beli sepatu buat
lindungi otakku yang ada di kaki.”
“Hahahahaha..., lucu. Sudah pergilah sana, biar aura jahat
minggat dan dagangan saya bisa laku pagi ini, manggil penglaris.”
“Oke deh, sampai ketemu lagi nanti yah.”
“Eh, ini pesanan buku semiotikamu jadi diambil gak?”
“Nanti saja, belum ada duit. Tolong simpenin dulu, satu dua
hari ini saya tebus,” kata Zolenk sambil berjalan lalu menuju arah gedung FIS.
-
Makassar, Masa SD
1980an
Diingatnya lagi jika sejak SD, Zolenk memang menjadi penyuka
sepatu sejati. Waktu itu harga Nike Air Jordan harganya masih sekitar Rp 63
ribuan di tahun 1980an. Papanya membelikannya Nike termurah, harganya sekitar
Rp 20 ribuan.
“Ah, enggak ah.
Males sekolah kalau begitu. Teman-teman sudah pada make, masak saya pakai sepatu Nike yang itu.”
“Ini saja kau pakai dulu, nak. Nanti kalau sudah ada duit,
Papa beli lagi yang Nike Jordan itu. Yang ukuran tiga perempat warna putih
merah kan, atau yang warna merah hitam?”
“Yang merah putih.”
“Pokoknya gak mau
sekolah dulu, kalau tidak pakai Nike Jordan,” kata Zolenk lagi.
Dua hari ngambek
gak mau sekolah, akhirnya pintu kamarnya diketuk. “Ini sepatunya Papa taruh
depan kamar yah. Besok sekolah yah.”
Tidak lantas dibukanya pintu kamarnya dari masa SD sampai
SMA itu. Baru setelah yakin Papanya sudah pergi dibukanya kunci pintu kamar,
diambil dan buru-buru dikunci lagi. Hari itu dipeluknya sepatu itu sampai
dibawa tidur hingga keesokan pagi.
“Mangkura, tunggu aku pagi ini yah.”
-
Jakarta, Masa SMP
1990an
Tidak ada lagi Nike di benak Zolenk di era ini, melainkan LA
Gear warna biru putih. Salah satu ikon merek di awal tahun 1990an.
“Wuih, akhirnya punya
LA Gear juga die. Beli dimana, Plenk?”
kata Chandra, seorang kawan baiknya di tanah betawi.
“Di Aldiron Blok M.”
“Yakin lu asli?”
“Asli dong.”
“Oks, buat dipakai kemana tuh sepokat keren?”
“Buat jalan sama Naning ke Lipstik atau HD.”
“Sip, hati-hati, entar dipalak lu sama preman Blok M.”
“Sip, gw jalan dulu yak.”
Sore itu, dia merasa gantengnya naik 4% (dari skala normal
7/100) dengan sepatu La Gear andalannya.
-
1990an, Makassar Masa
SMA
Diilhami dari seorang adik Papanya, kali ini Zolenk gandrung
banget sama Kickers. Dari kelas 1 sampai kelas 3, sepatunya pasti Kickers yang
banderolnya saat itu sudah lumayan mahal.
Uniknya kali ini, dia tidak tampil segaya masa SMP. Baju dan
celananya kumal, tapi yang penting sepatunya Kickers.
“Hmm, baju dan celana sekolah kayaknya gak pernah ganti dari
kelas satu, bro?” kata Yoce, teman sekelasnya.
“Hahahaha, gak papa, yang penting sepatunya Kickers.”
“Sepatu mahal kayak gitu memang mau dipakai kemana? Kamu kan
tidak punya pacar.”
“Buat manjat tembok belakang kalau mau bolos lagi nanti.”
“Oh. Mantap.”
-
Selepas 12 tahun pendidikan awal itu, Zolenk tidak lagi
bersepatu, melainkan sendal jepit Swallow selama berada di Tamalanrea.
“Kok kau tidak gaya lagi sekarang sepatunya,” kata Imron,
temen baiknya sejak SD.
“Dah gak ada duit, bro. Yang penting hidup berlanjut dulu.”
“Otakmu gak terlindungi lagi dong?”
“Gak papalah, biar dia berada di alam bebas dulu gak
terkungkung melulu di dalam sepatu.”
“Hahahaha, bisa saja kau.”
“Kau mau kemana sekarang?” kata Imron lagi.
“Ke kampus, bro.”
“Lha, belum mandi dan masa kuliah pakai sendal?”
“Sabun habis, bro. Dan adanya cuma sandal sekarang.”
“Sudah dulu yah. Saya pergi dulu, nanti pete-petenya (istilah
angkot mikrolet di Makassar) penuh,” kata Zolenk.
“Oke, bro. Titi dj, kuliah yang bener biar berubah kualitas
hidupmu.”
"Oks, terima kasih, bro."
Maka berangkatlah Zolenk dari ujung selatan Cendrawasih kota
Makassar, untuk perjalanan lebih dari sejam dan Makassar saat itu belum macet
separah saat ini. Paling kalau macet kalau anak-anak Kampus di KM. 4 – 5 lagi
demo tutup jalan.
-
“Eh, kamu, kalau besok – besok masih kuliah pakai sendal
jangan masuk kelas lagi. Nanti kalau punya sepatu baru boleh masuk lagi,” kata
Pak Alba, dosen MKDU, di aula H33.
“Belum punya sepatu, pak. Duit kiriman gak cukup buat beli
sepatu, daripada saya ketinggalan mata pelajaran yang penting saya kuliah dulu,
pak.”
“Ah, alesan saja. Yawda,
sampai kamu punya sepatu, besok-besok kalau masih pakai sandal duduk di
belakang saja. Mood saya hilang lihat jempol kakimu yang kumal.”
“Baik, pak.”
-
“Kayaknya kau nyantai sekali yah dalam hidupmu yang
amburadul yah? Sudah jadi drugs user,
rambut gondrong gak terurus, telinga dan hidung ditindik, kuliah pakai kemeja flanel
buduk atau kaos Bart Simpson cakar (istilah baju “cap karung” alias baju-baju
bekas dari luar negeri yang dijual kembali di Makassar dan Pare-Pare), celana jins
kumal sobek-sobek dan sandal jepit Swallow. Mana ada yang suka denganmu,” kata
Mas Danu, salah satu kawan baiknya di Tamalanrea Km. 10.
“Tidak papa, bro. Hidup itu gak penting apa yang orang
bilang tentangmu. Yang penting dirimu sendiri bisa berdamai dengan diri
sendiri, dan menikmati hidup dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Tidak
ada yang lebih penting dibanding apa yang kita jalani dan nikmati.”
“Kau tidak jengah dengan pandangan orang-orang di sekitar?”
“Buat apa, bro?! Jengah juga tidak mengubah situasi, kan?
Jadi dijalani saja, santai dan nikmati.”
“Termasuk dari cewek-cewek yang menolakmu?”
“Yoi, santai saja. Paling sakit sebentar di hati, gak lama,
setelah itu hatiku terbuka lagi mengejar cita cinta yang baru meski hasilnya
pasti sama, di tolak lagi.”
“Jadi sakitnya cuma sebentar saja setiap penolakan itu?”
“Iya.”
“Termasuk dari Belkan?”
Sejenak dadanya terkesiap, “Kalau itu beda, pukulannya
telak. Kau kan tahu saya sulit menerima dan melupakannya. Sudah ah, gak perlu
diingatkan. Anggap saja itu sebuah pertarungan yang mestinya saya bisa
mengendalikan diri untuk tidak melakukannya,” kata Zolenk.
“Jadi menyesal telah mengungkapkannya?”
“Enggak juga sih, memang harus dilakukan, meskipun aku tahu
pasti kalah setidaknya sudah mencoba daripada menyesal tidak pernah
melakukannya. Rasa itu juga gak salah, dan berjalan alami saja juga tersiram
tumbuh mekar di sini (menunjuk dadanya),” kata Zolenk.
“Syeh, sok romantis lu. Memangnya masih punya hati?”
“Enggak juga sih, banyak sudah dirusak sama alkohol dan
drugs.”
Kedua kawan baik itu tertawa bersama bersama kepulan asap
rokok masing-masing, ditemani cangkir kopi susunya masing-masing.
Kampus hari itu terasa cerah dan gembira, menyematkan
semangat jika apapun kondisi dan keadaannya, hidup tetap harus disyukuri.
-
Masa Kini
“Busyet, ayah. Sepatumu tambah banyak saja. Sudah kayak
fesyen show,” kata bini Zolenk.
“Kan kan tahu dimana posisi otakku, kan?!”
“Iya, tauk. Di kaki kan?!”
“Nah, itu dia.
Makanya harus aku lindungi sedemikian rupa biar tetap aman terjaga buat
berpikir,” kata Zolenk sambil memantau jalannya proses pengiriman lemari
sepatunya yang dibeli di buka lapak.
(Bersambung)
Komentar
Posting Komentar