CHAPTER 24: MENDEFINISIKAN STRATA CINTA DAN SEDERET KEGAGALAN



Menggali cerita remaja Zolenk di era 1990an seperti menyelam untuk mencari titian awal berpijak dan menjadi awalan ujung benang dimana setiap cerita dimulai. Setelah ketemu langsung menyelam lagi lebih dalam untuk penggalian karakter dan penemuan item-item detail dari narasi kehidupannya.

Cukup melelahkan saat membangunnya namun sekaligus menyenangkan, karena kemudian justru ditemukannya kejutan-kejutan lebih dalam yang selama ini malah belum pernah terpikirkan sama sekali misalnya mengapa sesuatu hal harus terjadi dan kenapa harus begitu...

-

Apa itu cinta? Buat Zolenk yang acap kali gagal akhirnya ditemukan jika cinta itu seperti rumah susun, ada tingkatannya.

Saat SD lalu jeda di masa SMP lalu terjadi lagi di masa SMA adalah obsesi pada cewek cakep asal Surabaya, namanya Citra. Cakep dan pinter banget dengan level kategori “saking” alias saking cakep dan saking pinternya, Citra sudah kayak sosok Dewi Kwan Im yang welas asih.

Menyukai Citra itu laksana jatuh cinta yang tabu, karena bagaimana mungkin manusia biasa jatuh cinta pada mahluk dari nirwana, itu sama saja dengan menyalahi kodrat.

“Cit, boleh belajar di rumahmu?”

“Hmm, belajar apa yah?”

“Pelajaran sekolahlah, biar pintar kayak kamu.”

“Hmm, bisa saja. Boleh kalau memang niatnya untuk belajar.”

“Hmm, gak jadi deh,” kata Zolenk, langsung berpaling seketika, meninggalkan Citra yang sejenak tertegun.

“Orang yang aneh.”

Dan pembicaraan itu terjadi berulang kali seperti cerita yang makin basi. Antara berani, tabu dan takut kualat kalau jatuh cinta terlalu tinggi.

Nah, Citra ini menjadi satu ikon cinta tertinggi Zolenk di masa awal. Ya, ada beberapa nama yang ditaksirnya di antara waktu itu. Di TK, Papanya menjodohkan dia sama temennya yang namanya Yosiana. Zolenk sampai kini hanya ingat namanya, tapi orangnya bingung yang mana.

Lalu ada yang namanya Ira, gadis Sunda dengan kumis tipis yang sempat lama memikat perhatiannya. Lalu ada yang naksir dirinya yang sekilas mirip Yessy Gusman waktu memerankan Ratna, namanya Mirna. Lalu ada pacarnya di masa SMP, namanya Latifa dan Naning.

Tapi hingga selepas masa SMA, nama Citra kayaknya yang menempati puncak klasemen.  

Dari situ, Zolenk menyimpulkan kegagalannya menyampaikan perasaannya ke Citra lebih karena rasa sungkan dan tabu melanggar batas yang terlalu tinggi,  meski ini tentu persepsi yang ia ciptakan sendiri di kepalanya. Selebihnya hidup tetap berlanjut dengan bentuk-bentuk kesenangan yang lain.

-

Saat tiba dan menjejakkan kaki di Tamalanrea, begitu banyak cewek cakep saat itu sudah kayak main cap cis cus. Sayangnya Zolenk lupa mengukur kapasitas diri jadi kerap terhempas, bahkan selalu. Di antara serangkaian kegagalan yang membuatnya paling jauh terpukul adalah penolakan Belkan.

Ia sangat tidak siap untuk itu, meski di dalam hati kecilnya dia memang sudah pesimis dari awal sebelum maju ke gelanggang perang. Dua temannya bilang, “Dia suka juga kok. Coba saja.”

Ucapan ini mungkin bisa dipercaya, karena datang dari dua kawan yang gak suka bohong, tapi rasanya kayaknya gak sesederhana itu.

Maka malam itu akhirnya diberanikannya melakukan salah satu hal terberat dalam hidupnya, yaitu menyatakan rasa pada Belkan.

Sekitar dua jam, keduanya hanya terdiam di beranda rumah Belkan yang super gede itu. Gelapnya langit malam dan juga suasana beranda rumah Belkan, seakan mewakili nasib gelapnya malam itu.

Entah apa yang dipikirkan Belkan saat itu, mungkin dia juga bertanya-tanya, “Apa sih maunya ini anak?!”

Selepas dua jam berdiam dan memupuk keberanian, akhirnya mulut Zolenk terbuka siap mengeluarkan suara, “Maukah kau jadi pacarku?”

Dan jawabannya seperti kuis di cerdas cermat, cepet banget, “Maafkan, tapi kayaknya mendingan kita temenan.”

Zolenk tidak terlalu terpukul terlalu dalam, karena dari awal memang dia sudah merasa duluan bakal tenggelam terlalu dalam laksana berada di palung laut menunggu nasib, “Kira selamat atau enggak neeh?!”

Ternyata tidak selamat...

“Baiklah, gak papa, setidaknya saya sudah mencoba. Saya pamit yah. Terima kasih atas kesediannya menemani selama beberapa jam ini.”

“Siap, gak papa.”

Keesokan paginya Zolenk langsung kabur ke Jogja tanpa rencana sebelumnya, tanpa tiket dan sukses ditangkap sekuriti kapal Pelni. Di Jogja, dia menghibur diri beberapa hari termasuk nongkrong di Jogja Cafe yang sangat etnikal itu, dan bahkan sempat ngeliat Bill Saragih memainkan musik Jazz yang sangat ia piawai sebagai salah satu maestro terbaik di negeri ini, di genre musiknya.

-

Kembali ke Makassar dan melanjutkan perkuliahan, Zolenk sudah pulih kembali, tidak sepenuhnya. Dia tidak menyesal telah mengatakan perasaannya ke Belkan.

“Setidaknya saya sudah mencoba.”

Andai kata adik ceweknya ada pasti si Zolenk dimarahi lagi kayak zaman SMA.

“Deketin cewek itu jangan kayak ngajak orang berkelahi, langsung bilang. Pakai pedekate dulu kek, buat dia senang-senang dulu sampai dia merasa nyaman. Cewek itu perlu digituin.”

“Ah, itu kan orang kebanyakan. Saya tidak begitu.”

-

Yang Zolenk tidak habis mengerti di beberapa kali kesempatan setelah tragedi mendalam penolakan itu, Belkan datang ke tempat nongkrongnya di kampus. Entah apa maunya, mungkin dia ingin meralat jawabannya waktu itu...

Zolenk sih sudah tidak terlalu memikirkannya. Dia memang manusia kayu yang keras kepala.

“Menyatakan itu cuma satu kali. Kalau gagal yah sudah, tinggal melanjutkan hidup.”

Setiap Belkan datang, Zolenk langsung bergegas pergi dan disertai olok-olok teman-temannya, termasuk beberapa adik kelas yang sudah akrab.

“Payah, demonstran sayur. Mati kiri.” (“mati kiri” adalah sebuah istilah buat laki-laki yang terlihat jantan dan laki banget, tapi kalau deket cewek gebetannya sudah kayak lintah kena garam, mengkeret).

Ia tidak peduli, dan terus berjalan menjauh.

Suatu ketika saat Zolenk lulusan kuliah, Belkan datang menghampirinya Mamanya Zolenk. “Kenalkan, nama saya Belkan,” katanya sambil menjulurkan telapak tangan kanannya menggenggam telapak tangan Mama Zolenk.

Berbeda dengan anak kebanyakan, Mamanya mungkin tidak terlalu mengenal nama Belkan, ia memang tidak pernah cerita. Ya, Zolenk tidak terlalu dekat dan terbuka dengan Mamanya, mereka malah sering berbeda pendapat.

Katanya Mamanya, Zolenk hanya dekat dengan nenek dari Papanya. Kenyataannya enggak, Zolenk juga gak dekat malah juga suka ribut sejak zaman SMA. Tapi ya, Zolenk itu tumbuh diasuh oleh dua neneknya, baik dari Papanya ataupu Mamanya. Dari nenek dari mamanya dia belajar tentang filosofi hidup prihatin.

Di rumah nenek dari papanya saat itu berlimpah makanan enak, tapi nenek dari mamanya kerap kali menyuapkan nasi garam ke dalam mulutnya. Dan Zolenk pun yang masih kanak-kanak selalu nurut.

“Bukalah mulutmu, cucuku. Makanlah nasi garam ini supaya kau belajar hidup. Kelak jika di kehidupan susah pun kau tidak kaget dan tetap siap melanjutkan hidup. Makan nasi garam itu mengajarkanmu itu untuk tidak jadi anak yang manja. Jadilah petarung dalam hidup.”

Zolenk hanya menggangguk setiap petuah itu ditujukan kepadanya. Dan ya, petuah itu sangat dipegangnya sampai kini.

“Kalau belum mati, saya pasti lebih kuat setelahnya,” kata Zolenk kepada dirinya berulang kali.

-

Mengenai perasaannya pada Belkan tidak berubah, meski setelah penolakan itu, dia sesungguhnya telah mengubur obsesinya untuk bisa bersama cewek teranggun yang pernah dikenalnya di masa remaja di paruh kedua tahun 1990an.

“Kau adalah dimensi yang senantiasa kuimpikan untuk dapat selalu bersamamu. Kudoakan tulus agar kelak kau berbahagia.”

Dan selepas tahun 1990an berakhir, kisah itu juga berakhir. Tapi di paruh kedua tahun 1990an, Belkan adalah pemuncak klasemen di hati Zolenk.

-

Suatu ketika di masa depan (baca: di masa kini), saat coba merenung tentang masa remajanya, Zolenk bercerita pada bininya.

“Saya memang tidak pernah mengenal dalam arti cinta. Tidak ada pernah hubunganku dengan seorang cewek pun yang lebih dari dua bulan. Selalu berakhir lebih dini. Terkadang saya suka bingung selepas dua minggu pertama, mesti ngapain dengan pacarku saat itu. Saya kayak orang mati langkah di permainan catur yang baru saja semestinya dimulai. Pikiranku kaku, lidahku keluh, dan saya tidak menemukan keasyikan lagi yang grafiknya naik setelah dua pekan pertama berlalu.”

Bininya pun hanya mendengarkan, “Wah, ayah memang sok handsome dari dulu yah,” katanya sambil tertawa-tawa.

Handsome bagaimana?! Orang kisah cintaku buruk gitu, bagaimana bisa merasakan handsome. Boro-boro.”

“Memangnya kalau pacaran dulu diajak makan gak ceweknya, jangan-jangan gak punya duit.”

“Kalau zaman kuliah memang iya sudah gak punya duit, tapi kalau pas masih SMA duit mah banyak dikasih nenek.”

“Eh, tapi aku sudah tamat baca dua buku terakhir kisah Dilan dan Milea, aku jadi mikir ternyata kisah cintaku lebih bagus dari Dilan,” kata Zolenk lagi.

“Kenapa?” timpal bininya.

“Nah, Dilan yang jago gombal dan sangat cair, pintar pula gagal bersanding sama Milea. Nah, aku yang selalu gagal akhirnya bisa mendapatkanmu. Kau tau tidak, jika dirimu itu satu-satunya orang gila yang mau langsung sama aku di tembakan pertama. Dan sebentar lagi kita sudah sebelas tahun bersama. Dari dulu yang rekor pacarannya dua bulanan, kali ini aku belum merasa bosan-bosan bersamamu.”

“Memangnya kalau bosan juga mau diapain? Kasian anak-anaklah.”

“Enggak bercanda. Aku cuma heran saja dengan perjalanan hidupku. Kok bisa yah, akhirnya ada satu cewek yang mau sama aku dan sekali itu aku betah lama-lama banget bersamanya.”

“Gombal.”

“Lha, itu nama cowokmu dulu?”

“Iyo,” kata bininya tertawa.

“Aku juga langsung mikir kenapa yah Dilan gagal sama Milea di luar soal takdir. Apa mungkin karena mereka terlalu dekat jadi akhirnya putus. Mungkin karena mereka berdua berusaha sama dan satu hati. Mungkin terlalu dekat itu bisa membuatmu putus, mungkin hubungan itu harusnya normal-normal saja, jangan dipaksakan sesuai.”

“Oh, jadi di buku itu Milea gak jadi sama Dilan?” kata bininya. “Aku pikir mereka jadian, karena di sosial media katanya mereka cocok banget.

Ya, bininya Zolenk adalah pengguna sosial media kelas berat.

“Enggak.”

“Ayah, kalau ayah duluan gak ada nanti, aku tetap gak akan mau lagi ada lagi pengganti.”

“Iyalah, dimana lagi kau bisa dapat laki segila aku.”

“Hahahaha. Kalau ayah pasti nikah lagi, kalau aku pulang duluan. Ingat lho gak bakal ada bini yang sebaik dan sesabar aku. Pasti cewek penggantiku itu reseh minta duit terus, matre deh pokoknya.”

“Hahahaha..., aku tuh gak sebodoh itu. Kalau gak cocok, yah, aku tinggal, kalau perlu aku tendang ke bulan biar gak balik lagi ke bumi.”

“Hahahaha...,” bininya tertawa senang.

Diacak-acak rambutnya bininya, lalu dirangkulnya bahu bininya.

“Ih, ayah sama bunda kayak orang pacaran saja,” kata si bungsu yang nuakalnya minta ampun.

(Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!