CHAPTER 186: TERIMA KASIH, PAK RADEN!



Sepanjang sejarah bumi ada banyak cerita kehidupan, dan setiap rentang usia punya ceritanya masing-masing. Di rentang usiaku sendiri tersebutlah kisah tentang boneka Si Unyil. Acara Si Unyil dulu sangat dinanti banyak anak bangsa di negeri ini, setiap hari Minggu pagi.

Penciptanya (alm) Drs. Suyadi alias Pak Raden yang meninggal Jumat 30 Oktober 2015 di RS Pelni Jakarta pada usia 82 tahun.

Pecinta anak-anak ini merupakan jebolan jurusan Seni Rupa dari Institut Teknologi Bandung, dan referensinya dalam membuat para tokoh dalam kisah Si Unyil pun tidak main-main, Walt Disney. Sederhananya, Drs. Suyadi adalah tokoh seni serba bisa (melukis, menulis, menggambar, mendongeng dan membuat film) dengan latar belakang pendidikan tinggi berkelas.

Miris, hingga di akhir hayatnya beliau meninggal tanpa pernah menikah dan dalam kondisi ekonomi yang kurang makmur di sebuah rumah kontrakan yang tidak terurus di seberang pasar tradisional di wilayah Jakarta Timur.

Aku jadi teringat kata-kata ibuku, jika hidup itu adalah takdir. Kaya ataupun miskin adalah tetap cobaan hidup.

Tapi bagiku untuk kasus Pak Raden, pernyataan Ibuku itulah tidaklah cukup melegakan. Sekali lagi, mayoritas para penyelenggara negara di negeri ataupun para pelaku industri kembali menunjukkan sikap kerdil dan gigi tikusnya kepada tokoh sebesar Drs. Suyadi hingga di akhir hayat.


Epos tentang Pak Raden semakin jelas menunjukkan jika mayoritas penyelenggara negara adalah tetap preman yang terlembagakan secara legal. Begitu pula dengan mayoritas pelaku industri menjadi parasit atau vampir penghisap darah. Hingga akhir hayatnya, hak karya intelektualnya sebagai pencipta Si Unyil tidak pernah diakui oleh negara. Demikian pula hak royalti yang tidak pernah diberikan dari setiap tokoh yang diciptakannya dalam serial Si Unyil.

Epos tentang Pak Raden adalah bukti konkrit, jika jangan pernah menggantungkan nasibmu pada para pelaku penyelenggara negara dan para pelaku industri. Anda hanya punya hak untuk memilih para penyelenggara yang paling tidak brengsek supaya tidak merepotkan kita dengan gigi-gigi tikus mereka. Meski kadang, saat beruntung, preman2 terlembaga secara legal itu datang ke dalam kehidupan kita. Berbagi kesenangan sesaat, lalu pergi lagi.

Dari Epos Pak Raden terselip sebuah pelajaran hidup pula, jika pintar saja terkadang tidak cukup. Anda juga butuh kemampuan berdagang dan pemahaman akan hukum (yang serba karet), selain tetap memohon kemurahan karunia dari Sang Pemilik Kehidupan.

Pak Raden adalah seniman multi talenta, irama orkestra kehidupan penting yang mengiringi dan menginspirasi masa kanak-kanak banyak manusia di negeri ini, termasuk aku. Pak Raden dengan pohon mangga dan penyakit encoknya, pak Raden yang sering berdebat dengan Unyil, Usro, Ucrit, pak Able dan pak Ogah. Dan langsung kabur kalau ketemu rampok.

Pak Raden yang menginspirasi dengan kisah humanisnya, jauh lebih mulia daripada selebriti muda bergelimangan harta yang mengajarkan pesan sampah buat anak-anak bangsa di layar kaca demi kepentingan rating.

Ya, dalam hal ini Ibuku benar, kaya atau miskin tidak dapat dijadikan tolak ukur kualitas seseorang.

Terima kasih, Pak Raden. Selamat jalan, semoga Tuhan YME memberikan tempat yang paling mulia di sisiNya, amin YRA.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!