CHAPTER 163: MENTERTAWAKAN KETERBATASAN



Rabu petang 28 Juli 2021 di kawasan Pengasinan - Depok, tiba-tiba rem depan Bumblebee gusruk. Cilaka, habis sudah kampasnya neeh.

"Tidak boleh panik, tetap tenang," kataku pada diri sendiri. Jalanan lumayan padat dan ramai soalnya, jangan sampai lengah bisa potensi kecelakaan. Energi diri sebenarnya juga lumayan terkikis, maklum, namanya habis pulang nguli

Alhamdulillah, bisa selamat dan Magriban di rumah tepat waktu. 

-

Kamis pagi 29 Juli 2021, saat mau berangkat nguli, Bu Yon sudah ketar-ketir. "Bagaimana dong, ayah? Nanti malah celaka di jalan!"

"Tenang, yang penting masih bisa jalan. Nanti aku pikir bagaimana caranya."

Berangkatlah dengan Bumblebee. Sugestiku, sebisa mungkin jangan tarik rem depan. Kalaupun harus, sekadar imbuhan saja. Jangan tarik penuh!

Lajukan kecepatan skutik semi-bongsor itu dengan hati dan perasaan. Mesti pakai akal juga. Ya, namanya juga skutik, jadi gak punya yang namanya engine brake

Melintasi kawasan rute perkampungan dengan nuansa pedesaan yang cukup terasa dari kawasan Susukan hingga ujung Pengasinan menuju jalan raya Sawangan berlangsung aman. Tantangan berikutnya adalah di jalan raya, bagaimana mencipta kecepatan yang tetap aman tapi tidak terlalu lambat. Bisa-bisa dimarahin orang di jalan raya, kalau kecepatan terlalu pelan. 

Kecepetan pun gak boleh, karena nanti bisa-bisa berabe saat melakukan pengereman. 

Kupasang sugesti kalau ini seolah membawa si Bendera (skutik Mio seken lawas di rumah), supaya bisa bertoleransi dengan diri sendiri. Ternyata, masih bisa melaju di kecepatan 35 - 50 KPJ, dan rasanya jarak pengereman di situasi kurang asyik ini masih bisa terpenuhi. 

Suatu ketika di jalan layang Gaplek, mendadak harus memberikan efek pengereman normal. Alhasil, bunyi gusruk di piringan depan depan cukup terdengar. Aku menghibur diri seolah mendengar kata "miskin, miskin" saat besi kampas rem beradu dengan piringan cakram.

"Hahahaha," rasanya unik dan cukup menghibur diri juga di tengah keterbatasan ekonomi saat ini. Masa penerima upah baru beberapa hari ke depan. Ya, di saat seperti ini dimana disrupsi dan pagebluk tengah merajalela, bisa tetap punya penghasilan tetap saja sudah sepatutnya disyukuri.

Entah, apa kabarnya opportunity proyek yang tengah aku nanti. Kebijakan PPKM dari pemerintah yang melarang perkantoran non-essensial masuk kerja dan upaya rival untuk menaikkan kemampuan karya juga bisa jadi rintangan untuk mengembalikan posisi ekonomi di rumah ke posisi "sehat".

Merutuki momen-momen sulit seperti ini pun tidak akan menyelesaikan persoalan. Malah bisa membuat hati lebih gundah. Jadi sebisa mungkin harus mampu dan piawai menghibur diri sendiri, syukur-syukur bisa tetap tenang dan menaikkan level kewaspadaan. Ya, keterbatasan di satu sisi bisa jadi titian atau alat pijak untuk lebih memaksimalkan kemampuan diri. Coba untuk keluar dari problematika, dengan cara yang bisa jadi belum pernah terpikirkan dan dilakukan sebelumnya. 

-

Jumat petang 30 Juli 2021, saat pulang nguli dan baru saja tiba di gerbang rumah. Lampu rumah mati, mungkin MCBnya bermasalah lagi. 

"Hmm, persoalan seperti ini kenapa datang pas kita tidak punya uang yah?!" kata Bu Yon. 

Lagi-lagi merutuki keadaaan tidak akan menyelesaikan persoalan. Aku coba tetap tenang, hasilnya setelah beberapa kali jepret lagi bisa juga menyala lagi. Kami pun bisa tidur dengan tenang hingga subuh datang dan panggilan menghadap sebentar lagi tiba di Sabtu pagi. 

Sabtu pagi nyaris pukul setengah 7, 31 Juli 2021, tiba-tiba jepret lagi listriknya. Entah pemakaian yang berlebih atau MCBnya yang bermasalah. Nantilah, hari ini mudah-mudahan upah nguli ditransfer sama juragan tempat kerja, baru coba dibenerin dengan panggil orang yang ahlinya. 

Ya, keterbatasan sebaiknya memang tidak dirutuki. Tertawai saja biar hati hati tetap gembira, meski di tengah situasi yang kurang oke.

Bagaimana, setuju?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!