CHAPTER 30: AKHIR MASA ITU CATATAN PENUTUP DI PERSIMPANGAN JALAN



Akhirnya masa kebersamaan itu akan segera berakhir, kita sudah tiba di persimpangan jalan untuk mengambil masing-masing jalan. Masa lima tahun itu seketika terasa begitu pendek, lalu mulai merekah menuju cerita barunya masing-masing.

Rumah kakak Husein akan menjadi ruang terakhir cerita keakraban kami, bersama kotakan mie rebus ataupun mie goreng yang jauh dari faedah yang bergizi. “Masih ada dua dus lagi, fee dari hasil nulis kemarin,” kata Ilo, yang meski berpostur paling kecil tapi ukuran itunya katanya paling besar di antara kawan-kawannya.

“Sip, nanti dimasak lagi sebelum masuk kampus bimbingan,” kata Husein.

Kompleks perumahan itu juga menjadi cerita manis, karena Tika anak fakultas ekonomi yang super putih dan manis beberapa kali mampir, membuat kami senang selalu sembari berpikir membuatnya lebih lama untuk tinggal, entah dengan cerita-cerita yang dibuat semenarik mungkin, sajian teh yang dibuat setawar mungkin karena kalau dia minum pasti jadi manis, atau dengan rapalan doa-doa terbaik yang pernah diajarkan oleh siapapun.

Ya, itu tidak mungkin jadi cinta personal, karena satu sama lain dari kami tahu jika Tika bisa konflik berkepanjangan jika ada yang sampai jadian, akan ada yang terluka dan mengoyak masa persahabatan yang sebentar lagi akan berakhir. Lalu kecil kemungkinan Tika mau pada di antara kami, ia terlalu manis.

Maka jadilah Tika sebagai idola bersama yang lebih syahdu ketimbang kombinasi teduh bulan, bintang, pendaran lampu merkuri di jalan perumahan, serta deretan pepohonan yang ada di tiap rumah.

“Hahahahaha...,” Tika tertawa, dan kami berbunga-bunga, itu berarti dia senang. Panjanglah usia malam itu sebagaimana doa kami, karena ketika matahari terbit itu berarti usia persahabatan kami semakin menghitung hari.

Ya, jika masa studi ini telah selesai kami pasti pergi. Meski asal muasal kami sama-sama dari pulau ini, tapi orang tua kami masing-masing adalah perantau. Selesai selembar ijazah S1 nanti itu diterima itu berarti kami harus kembali dulu ke rumah orang tua, sekadar berbagi cerita dan ujung kebahagiaan yang kami lakukan sebagai anak dalam lima tahun terakhir. Sebelum akhirnya harus kembali mengepakkan sayap terbang menuju pengejaran cita-cita, cinta dan pelabuhan terakhir (semoga), serta beranak pinak. Eh, sama tentu saja harus rajin shalat wajib lima waktu sehari.

“Kita akan menikmati setiap detail kenangan malam ini dan beberapa malam lalu sebagai kisah klasik sebuah persahabatan di masa depan, saat kita duduk di rumah kita masing-masing di masa depan, entah kita mengenangnya dengan bagaimana detailnya, tapi percayalah ini akan jadi cerita indah dan penuh kesan. Kebersamaan lima tahun ini telah mengajarkan kita untuk lebih kuat, bahkan mempengaruhi satu sama lain untuk lebih termotivasi mengejar cita. Rasanya ini akan menjadi salah satu babak terbaik dalam kehidupan kita. Semangat, semangat, semangat,” kata Igor, sambil mengepulkan asap rokoknya dan mengibas rambut panjangnya yang a la Tengku Firmansyah.

Husni yang paling religius dengan perawakan a la ketua dewan Masjid hanya tersenyum-senyum sendiri, ia memang paling jarang berkata-kata, kecuali kalau bicara tentang dakwah yang membuat Wawan selalu kepanasan. Ya, meski paling piawai beretorika dengan seuabrek wawasannya, tapi Wawan paling gentar ketemu Husni. Ia selalu khawatir disuruh sholat Subuh yang umumnya dilanjut dengan kultum alias kuliah tujuh puluh menit.

Nyaris pukul setengah 12, Tika pamit. Rumahnya gak jauh dari situ. “Wuih, sudah malam banget, saya pamit dulu yah. Nantilah kalau senggang saya mampir lagi, asyik ternyata ngobrol-ngobrol dengan teman-teman. Tauk gitu dari dulu kita temenan dan ngobrol-ngobrol yah,” kata Tika dengan air muka yang berseri-seri, meski tidak menutupi kesan lelah ingin beristirahat.

“Ya, padahal baru mau dinyanyikan Mahadewi-nya Padi,” kata Zolenk.

“Huuhhhhh...,” seketika sorakan cemohan keluar dari mulut semuanya.

Selepas Tika pulang, aktivitas utama pun kembali berlangsung. Bunyi tuts-tuts keyboard komputer Pentium II dengan layar 14-inci itu kembali sibuk merajut kata demi kata yang super panjang demi sebuah karya akhir yang diberi nama “skripsi”.

“Jangan lupa shalat,” kata Husni sebelum pulas duluan di jarum jam nyaris menyentuh pukul dua dinihari.

“Siap, ustad,” kata Husein mewakili teman-temannya.

Narasi pun terhenti, tidak ada lagi kata-kata ceria di malam itu. Husni sudah terlelap, Husein masih fokus pada skripsinya, Ilo tengah membaca koran sembari mencari kantuk, Igor dan Zolenk di teras mengepulkan asap rokok ditemani secangkir kopinya masing-masing, Iccank balik masuk kampus katanya ada kegiatan persiapan pendakian di UKM tempatnya bernaung.

Ya, malam itu adalah bagian lembaran cerita terakhir di ujung persimpang jalan, dan di masa mendatang kami akan mengenangnya di tempat baru masing-masing, sembari mengucapkan doa untuk kawan baik yang telah “pulang” duluan.

Matahari pagi pun telah mengetuk pintu langit...

Bogor, 26 Juni 2018 
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!