CHAPTER 165: CERITA ORANG-ORANG KECIL DI BULAN SEPTEMBER



Entah sudah berapa banyak kawan dan kenalan yang mengkritisiku, kala menarasikan cerita hidup yang katanya kesannya remeh temeh. 

Ya, tidak salah, karena selera umum adalah mengkonsumsi hal-hal besar dan megah. Kusebutnya sebagai 'situasi bravo' dalam perjalanan pulang dari vaksin dosis Sinovac yang kedua di Jakarta.

Padahal menurutku, kita tidak hanya bisa belajar atau terinspirasi dari kisah-kisah besar yang bergelimang narasi kesuksesan dan keberhasilan. 

Pada orang-orang kecil, kita bisa juga belajar dan terinspirasi soal ketegaran hati untuk melanjutkan perjalanan hidup, meski di tengah alur hidup yang terkesan gelap.

Entah karena aku memilih atau karena pilihan takdir, perbolehkan daku bercerita tentang itu. Inilah kisahnya (narasi orang-orang kecil) dalam empat sketsa yang terpisah.

Asep: Sang Jago Masak

Usia Asep saat tulisan ini dibuat sekitar 27 tahun. Dia sangat gape memasak. 

Sop ayamnya menurutku dan Bu Yon adalah salah satu menu sop ayam terenak yang pernah kami coba. 

Untuk sampai ke tahap kepiawaiannya memasak seperti sekarang, jalan hidup Asep terbilang terjal. 

Asep tidak pernah ketemu ibunya sejak bayi. Ia ditinggal meninggal ibunya saat masih bayi. Tragisnya, ia baru tahu makam ibunya setelah usia dewasa.

"Bapak tidak pernah cerita. Saya coba cari tahu ke kampung ibu, dan di sana pun makamnya tidak jelas dimana. Cuma diberitahu sama kerabat, patokannya adalah sebuah pohon di dekat situ."

Lirih dan keluh? Hmm, jauh. 

Asep mengaku sejak SMP, bapaknya sudah kesulitan membiayainya sekolah. Alhasil, dia mulai turun ke dunia masak memasak sejak masih usia belasan. 

Pernah juga ia jadi kru kapal hingga ke luar negeri. Dari situ, ia bisa punya uang untuk biaya kejar paket pendidikan hingga selevel SMA. 

Sepengenal Asep, aku melihatnya sebagai anak muda yang tetap menikmati hidup. Ia tetap tegar dan cukup bersemangat menjalani rutinitasnya bekerja di sebuah kedai kopi.

Mirza: Bapak Seperti Tidak Ingin Kehadiranku

Saat menulis ini, usia Mirza sekitar 22 tahun. Ia mengaku sudah bekerja sejak usia 17 tahun, selepas SMK. 

Awal karirnya sebagai petugas di sebuah jaringan minimarket yang pasti sering kali juga Anda lihat. 

"Dulu jaganya di Bekasi, dua tahunlah di sana. Tapi kontrak tidak diperpanjang setelah dua tahun, lagipula saya pengennya kerja di PT seperti teman-teman dari kampung."

Oh iya, Mirza asalnya dari Tegal. Bapaknya kini tinggal di Bekasi sebagai penjual nasi goreng. Dia punya dua kakak cewek, dan seorang adik cewek. Yang sulung sudah menikah. 

Ibunya, kata dia tetap tinggal di kampung. 

Aku bertanya, "Kenapa dia bekerja?"

"Karena dari dulu sejak kecil sudah jarang minta dan ngomong sama bapak. Kami seperti ada batasan, jadi jarang ngomong (satu sama lain). Bapak sepertinya tidak menginginkan kehadiranku."

Mirza kini bekerja di sebuah bengkel mobil. 

Sepanjang sepengamatanku, dia tetap bersemangat menjalani hari. 

Mang Illy: Anaknya Sekolah di SMP IT

Sejak menetap di pinggiran Bogor 13 tahun silam, saya sudah melihat mang Illy bolak-bolak di sekitar kawasan perumahan.

Dulunya, dia adalah penjual tanaman, namun kini ia bisa dibilang tiap hari datang ke kawasan perumahan. Di sini rasanya sudah seperti "kantornya" sendiri, tempatnya mencari nafkah. 

Ada saja yang ia bisa bantu di rumah-rumah warga. Meski terkadang yang ia bantu juga ada di rumah di luar perumahan, namun masih di sekitarlah istilahnya. 

Suatu ketika beberapa waktu lalu, sepeda lipat anak sulungku yang sudah cukup lama terbengkalai di garasi kuberikan padanya.

Sebelumnya aku bertanya, "Anak berapa Mang Illy?"

"Empat, pak. Yang paling gede sudah SMP."

Wuidih, jumlah anaknya sama dengan aku. Eh, aku sebenarnya lima deng, cuma abang Arai sudah "pulang" duluan.

Singkat cerita, sepeda lipat itu aku berikan padanya. Mang Illy nampak senang dan berterima kasih.

Beberapa hari kemudian, dia kembali menghampiriku dan kembali berterima kasih. "Sudah saya benerin sepedanya, pak. Habis cepek. Terima kasih, sepedanya dipakai anak saya buat sekolah."

Aku terharu, sekaligus termotivasi lagi. Ibaratnya, mang Illy saja tetap berusaha kuat dan tegar menjalani hidup, mengejar rezeki buat istri dan keempat anaknya. 

42 Tahun Sudah Punya Cucu

Kalau ini kisah dari bengkel kecil langganan yang urus perawatan berkala si Bendera (Mio 2010) untuk urusan fast moving semisal ganti oli, servis karbu, servis CVT, atau ganti kampas rem. 

Yang punya bengkel anak muda berusia 22 tahun. Ia menceritakannya soal umurnya beberapa hari lalu, kala servis karbu, ganti oli mesin, dan oli CVT si Bendera. 

Ada juga adik laki-lakinya sekitar usia 17 - 18 tahun yang ikut bantu, tapi sifatnya lebih kayak helper. "Iya, dia mah lulusan STM tapi belum ngerti apa-apa soal motor," kata abangnya suatu ketika. 

"Beda (s)ama saya, tamatan SMA doang tapi ngerti. Soalnya dulu pernah kerja langsung di bengkel, bantu paman."

Poin uniknya yang berkenaan dengan narasi kali ini adalah sosok bapaknya.

Suatu ketika sebelumnya, aku pernah ketemu bapaknya yang lagi jaga bengkel itu. "Iya, anak saya lagi vaksin ke Jakarta. Ini lagi saya yang jagain, kalau ganti-ganti oli doang mah bisalah. Bengkel ini saya buatkan buat anak saya memang, karena dia suka," kata sang bapak.

Singkat cerita, aku dengar dari anak sulungnya itu kalau usia bapaknya baru 42 tahun dan sudah punya cucu. Ya, ternyata anak sulungnya yang pengelola bengkel itu sudah menikah juga dan punya anak. 

"Iya, ayah masih muda. Baru 42 tahun, makanya gak mau dipanggil kakek sama cucunya. Minta dipanggil ayah."

Terhenyak aku, berarti bapak itu menikah muda banget. "Iya, bapak punya saya umur 20 tahun, dan saya juga punya anak umur 21 tahun."

Dari cerita anak sulungnya aku juga tahu, kalau bangunan bengkel yang ia kelola itu adalah punya bapaknya. "Iya, ini rumah bapak. Di luar bengkel ini, di satu bangunan ini ada enam yang ngontrak."

Wow, meski gak sekolah tinggi-tinggi, sang bapak ternyata lebih produktif dan memikirkan nasib anak-anaknya dalam mencari nafkah.

-

Ya, segitu sajalah dulu narasi kali ini. Semoga ada manfaatnya untuk dipetik, sekaligus menangkap makna juga seperti saya, jika bukan hanya pada hal-hal yang terasa besar saja kita bisa belajar, terinspirasi, dan termotivasi.

- Sekian -

Bogor coret, 6 September 2021

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!