CHAPTER 32: NYANYIAN SUNYI SEORANG RONIN



Suatu saat di masa depan, kita harus bisa menentukan langkah dan jalan yang dipilih. Dan menjadi seorang Ronin menurut seorang kawan baik yang sangat tercerahkan adalah bukan langkah bijak, karena begitu mudah dipatahkan oleh jejaring. Kira-kira begitu pesan kawan itu.

“Ya, ini adalah soal pilihan hidup, dan bukan soal tawa orang lain. Ini lebih ke soal jalan meraih kebahagiaan yang aku inginkan, menjadi seorang Ronin,” kata Zolenk.

Pernah suatu waktu, seorang kawan baik yang usianya lebih tua sekitar 10 tahunan di masa depan akhirnya “pulang” duluan. Dia selalu banyak menyetujui pandangan dan ide yang Zolenk kemukakan.

“Jarang tuh kawan kayak gitu, soalnya pikiran dan pandanganmu jarang yang sama dengan selera umum,” kata Semut, seorang kawan Zolenk.

“Yup, makanya pas dengar kabar dia “pulang” tadi pagi, suara nanyian sunyi tentang kehidupan seorang Ronin kembali menggema kembali di benakku. Menyentakku kembali soal pertanyaan apa makna dan tujuan hidupku,” kata Zolenk.

“Memangnya apa makna dan tujuan hidupmu?”

“Aku tahu yang pasti aku bukanlah seorang sosialis atau pribadi yang ekstrover. Aku cenderung instrover dan tenggelam dalam duniaku sendiri, mungkin terlalu banyak berimajinasi dan bicara pada diri sendiri. Aku juga sadar aku bukanlah anak dan saudara yang baik, tapi aku berpikir dan berkeinginan bisa menjadi suami dan ayah yang keren.”

“Apakah itu bukanlah sebuah impian yang muluk?”

“Rasanya bukan, karena aku tahu dan sadar jika Surga sangat jauh dari orang sepertiku, jadi keinginanku hanya sesederhana itu.”

Pembicaraan dua orang kawan baik itu terhenti sejenak, keduanya kembali ke dalam keasyikan dan renungannya masing-masing. Sementara senja di Pantai Losari dengan identitas jingganya yang selalu syahdu masih setia muncul menemani.

Zolenk terkenang pada lamunan tempat kerja pertamanya dengan kawan baik yang “pulang” duluan semalam. Gedung empat lantai itu kurang elegan untuk disebut kantor, karena gedungnya kecil dan suasana di dalamnya sumpek. Sering dia tidur di lantai 4 dulu di tempat pasangan penjaga kantor beserta istri dan anaknya juga numpang tinggal.

“Kenapa kamu tidak pulang?” kata pak penjaga kantor.

“Lagi ada kerjaan yang belum selesai.”

Di lain hari pak penjaga kantor kembali bertanya, “Kenapa kamu tidak pulang lagi hari ini?”

“Lagi bokek, sayang duitnya dipakai naik angkot, mending dipakai jajan.”

Di hari lain lagi, pak penjaga kantor bertanya, “Lalu kenapa tidak pulang lagi hari ini?”

“Saya mulai lupa apa arti pulang, karena tidak ada damai yang kutemui.”

“Hmm, dasar seniman uedan,” kata pak penjaga kantor.

Beberapa tahun kemudian, Zolenk bertemu dengan kawannya yang “pulang” duluan semalam di tempat kerja yang berbeda. Mereka sering berpapasan di tempat parkiran motor, pernah juga makan bareng di warung kaki lima, pernah sekadar berbagi tawa, dan cerita itu kini tidak mungkin lagi terjadi di bumi manusia ini.

“Selamat jalan kawan baikku, Mas Tabah. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik di sisiNya, amin.”

Dan waktu pun kembali berjalan biasa, hingga semuanya akan tiba masanya juga untuk “berpulang”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CHAPTER 345: BADAI TRAUMATIS DI BULAN MARET - APRIL 2024

CHAPTER 349: CUKUP, SAYA BERHENTI!

CHAPTER 48: BANGSAT!