CHAPTER 31: JANGAN SAMPAI KULDESAK
Makassar, 1998
Pada suatu waktu, setiap orang akan berhadapan dengan rasa
yang buntu seperti sore di Pantai Losari di hari itu. Angin kencang, hujan
deras, dan bunyi ombak yang keras terutama saat menghantam bebatuan di
pinggiran pantai.
Itu adalah hari yang tidak biasa, menguji nyali dan
keberanian setiap siapa saja di Kota Daeng.
“Makassar sepekan ini seperti rasaku, badai berat,” kata
Zolenk.
“Hahahahaha..., hari gini masih bicara soal rasa,” kata
Kampleng.
Zolenk tidak menggubris respon sahabatnya, matanya masih
melihat ke arah pulau Khayangan yang samar-samar masih terlihat dari areal Taman
Safari. Keduanya hanya berteduh di tenda ukuran 3x3, jadi keduanya pasti tetap
basah.
Entah berapa batang rokok Marlboro dan Dji Sam Soe yang
mereka habiskan di sore itu, jelang pukul empat sore. Dari tas selempang Zolenk
masih ada beberapa kaleng bir bintang yang sengaja dibelinya hasil order motret
kawinan di akhir pekan lalu.
“Apa yang kau rasa, kawan? Siapa tahu saya bisa membantu,”
kata Kampleng lagi.
“Hmm, banyak, tapi yang jelas perasaan lagi gak enak. Banyak
hal yang kuharap belum bisa terealisasi.”
“Mungkin kau terlalu banyak berharap, sementara hidup tidak
senantiasa bisa berjalan seperti harapanmu, kawan.”
“Mungkin. Ya, rasanya kau benar. Lalu kenapa kita harus
kecewa yah, apa itu wajar?”
“Di bumi manusia ini kadang kita lupa kalau kita hanya lakon
titipan, kita pongah dengan kehebatan artifisial.”
“Hmm, jadi ingat Kuldesak.”
“Hahahahahaha, biar saya beritahu. Kuldesak menurutku cuma soal
rasa, kawan. Kau harus bisa mengubah persepsi di kepalamu soal rasa.”
“Biar kenapa?”
“Biar bisa tenang menjalani hidup dan tidak perlu rajin
marah-marah atau uring-uringan lagi. Sebentar lagi kita akan menyelesaikan masa
studi S1, kembali ke tempat orang tua kita masing-masing, lalu menata asa untuk
mimpi-mimpi berikutnya. Sederhananya, kita akan masuk ke dalam tahap dewasa
yang sebenarnya. Marah, uring-uringan dan kecewa berkepanjangan tidak akan
mengubah keadaan, hanya akan melemahkan diri. Tetaplah kuat, dan sekali lagi ubahlah
persepsimu soal rasa.”
“Wuidih, berat bahasamu, kawan. Sudah ah, habiskan bir dan
rokokmu, kita masih harus balik ke kosan di Tamalanrea.”
“Hahahahaha, ayoklah.”
Senja pun akhirnya datang, hujan mulai reda, tidak ada lagi
angin kencang hanya menyisakan rasa dingin, menembus kemeja flanel dan jins
kedua anak muda itu.
Ya, hari ini sudah sepekan badai di kota Makassar, meski
lebih lama lagi galau yang bersemayam di jiwa Zolenk, sudah sekitar dua pekan.
Ya, dia kini hanya perlu diam menikmati rasa dengan persepsi berbeda.
Ya, benar kata Kampleng, persepsi kita soal rasa yang
membuat kita luruh. Mungkin situasi kurang baik yang hambar pun sebenarnya
adalah rasa yang manis, atau hanya perlu ditertawakan, entah sekarang atau ke
depan jika semua manusia pasti pernah jatuh...
Komentar
Posting Komentar